Skip to main content

(Akhmad Fawzi)

Universalitas disini dipahami sebagai keberlakuan pesan ayat al-Qur’an dalam lintas ruang dan waktu, tidak terbatas pada konteks masyarakat arab (kecuali ayat-ayat tertentu yang memang terkait dengan lokalitas) melainkan semua lapisan muslim diseluruh dunia.[1] Sebagaimana kita ketahui semua bahwa al-Qur’an sebagai sumber hukum utama dalam agama Islam yang didalamnya mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan untuk semua zaman. Al-Qur’an seluruhnya berjumlah 6.236 ayat, apabila diperinci maka 4.780 ayat termasuk ayat-ayat makkiyah dan 1.456 ayat termasuk ayat-ayat madaniyyah. Sebagaimana diketahui, ayat-ayat makkiyah pada umumnya mengandung keterangan dan penjelasan tentang keimanan, perbuatan baik dan jahat, pahala bagi orang yang beriman dan berbuat baik dan ancaman bagi orang yang tidak beriman dan berbuat jahat. Sedangkan ayat-ayat madaniyyah berhubungan dengan hidup kemasyarakatan manusia.[2] Al-Quran tidak banyak membicarakan soal hidup kemasyarakatan manusia, kenapa? Hikmahnya bahwa masyarakat itu bersifat dinamis atau senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman, kemudian peratuan dan hukum ini mempunyai efek yang mengikat. Kalau peraturan dan hukum yang mengatur masyarakat berjumlah banyak dan rinci, maka dinamika masyarakat yang diatur oleh peraturan dan hukum yang banyak dan rinci tadi akan menjadi terikat dengan kata lain perkembangan masyarakat menjadi terhambat. Disinilah terletak hikmah mengapa ayat-ayat al-Qur’an tidak banyak membicarakan soal hidup kemasyarakatan manusia, persoalan tersebut lebih banyak diserahkan kepada akal manusia untuk mengaturnya sedangkan yang diberikan Tuhan dalam al-Qur’an ialah dasar atau patokan dan diatas dasar atau patokan inilah umat islam mengatur hidup kemasyarakatan.[3]

Contoh keuniversalan al-Quran yang ditinjau dari zaman adalah konsep musyawarah. Ayat al-Quran mengatakan: Bermusyawarahlah dengan mereka. Penjelasan tentang musyawarah tidak ada dalam al-Qur’an. Maka dalam sistem pemerintahan monarki Islam pada masa silam, musyawarah dilaksanakan melalui raja dengan meminta pedapat dari pembantu-pembantu dekatnya dan setelah mempertimbangkan pendapat-pendapat itu ia kemudian mengambil keputusan. Di zaman demokrasi pemerintah republik yang sekarang umum terdapat dalam pemerintahan Islam , musyarawah dilakukan di DPR. Dalam pada itu pengambilan keputusan berbeda-beda pula dari satu negara ke negara islam lainnya. Kita di Indonesia memakai sistem mufakat, sedang di dunia islam lainnya dipakai sistem suara terbanyak.[4] Selain musyawarah, terdapat nilai keadilan yang diidealisasikan menjadi pesan kemanusiaan. Contoh yang lain didalam al-Quran tidak disebutkan secara eksplisit tentang sistem politik dan bernegara yang baku, namun demikian didalamnya telah diletakkan beberapa prinsip dasar yang harus dipedomani dalam menyelenggarakan negara dan pemberdayaan masyarakat. Prinsip dasar itu antara lain; Amanah (Qs. An-Nisa: 58), musyawarah (Qs. as-Syura: 38 dan Ali Imron: 159), Adil (Qs. An-Nisa: 135, An-Nahl: 90, dan al- An’am: 160), Musyawah (Qs. al-Hujuran : 13), Perdamaian (al-Baqarah: 190, 194, Qs. al-Anfal: 61) dan prinsip kesejahteraan (Qs. as-Saba: 15).[5]

 Terdapat  salah satu tokoh yaitu Mahmud Muhammad Taha (w. 1985) yang membedakan antara ayat pokok dan ayat ranting. Yang dimaksud dengan ayat pokok adalah ayat-ayat yang memuat prinsip etis yang bersifat abadi dan menjadi inti peradaban kemanusiaan, seperti; keadilan (Qs. al-Nahl: 90) dalam pengertian hukuman setimpal (Qs. al-Maidah: 45, Qs. al-Baqarah: 194), Memaafkan terhadap orang yang berbuat salah (Qs. al-Maidah: 45) dan silaturrahmi dalam pengertian luas (Qs. al-Nahl: 90). Sedangkan yang dimaksud dengan ayat ranting ialah ayat yang memuat aturan-aturan yang bersifat elastis dan kondisional.

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa al-Quran sejak diturunkan sampai saat sekarang bahkan di masa yang akan datang nilai-nilai atau pesan yang terdapat dalam al-Qur’an masih tetap dirasakan keberadaannya bukan hanya oleh umat muslim saja tetapi juga seluruh umat manusia di dunia. Sekaligus menjamin bahwa al-Quran selamanya terpelihara baik dari segi keberadaannya maupun dari segi keasliannya.

Referensi:

Kamrullah dan Samsahudi. 2020. Aktualisasi Universalitas al-Qur’an. Jurnal el Huda. 11(2): 44.

Nasution, Harun. 1996. Islam Rasional. Bandung: Mizan.

Wardani dan Wardatun Nadhiroh. 2018. Menemukan Universalitas Pesan al-Quran Sebagai Keniscayaan dalam Penafsiran Multi-Interdisipliner. Jurnal Mutawatir. 8(1): 96.


[1] Wardani dan Wardatun Nadhiroh, “Menemukan Universalitas Pesan Al-Quran Sebagai Keniscayaan dalam Penafsiran Multi-Interdisipliner”, Jurnal Mutawatir Vol. 8 No. 1 (Juni, 2018), Hal. 96.

[2] Harun Nasution, 1996, “Islam Rasional”, Bandung: Mizan, Hal. 26.

[3] Ibid, Hal. 28.

[4] Ibid, Hal. 34.

[5] Kamrullah dan Samsahudi, “Aktualisasi Universalitas al-Qur’an” Jurnal el Huda Vol. 11 No. 2 (2020), Hal. 44.

Leave a Reply

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.