Skip to main content

(Akhmad Fawzi)

Memasuki bulan rajab, umat Islam di Indonesia selalu memperingati isra mikraj Nabi Muhammad Saw. Pengertian isra sendiri berasal dari kata ‘saro’ (سرى) yang bermakna di malam hari, Adapun secara istilah isra berarti perjalanan Rasulullah Saw. Dengan mengendarai Buraq dengan waktu yang relatif singkat. Sedangkan mikraj berasal dari kata ‘aroja’ (عرج) yang berarti naik menuju ke atas, Sehingga maknanya secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk naik, Adapun secara istilah mikraj bermakna tangga khusus yang digunakan untuk naik dari bumi menuju ke atas langit, yaitu langit ketujuh hingga ke Sidratulmuntaha.[1] Peristiwa isra mikraj merupakan perjalanan spiritual Nabi Muhammad Saw. dari Masjidilharam ke Masjidilaqsha yang sangat dramatik dan fantastik dalam tempo singkat-kurang dari semalam, Nabi berhasil menembus lapisan-lapisan spiritual yang amat jauh bahkan hingga ke puncak (Sidratulmuntaha). Walaupun terjadi dalam sekejap, memori Rasulullah berhasil menyalin pengalaman spiritual yang amat padat disana.[2]

Salah satu pengalaman spiritual yang terjadi pada Rasulullah saat isra mikraj ialah menerima risalah ilahiah berupa salat yang merupakan salah satu rukun Islam sekaligus hukum agama yang notabenenya perintah langsung dari Allah sebagai alat penghubung langsung antara hamba dengan Tuhan. Salat yang dilakukan oleh hamba-hamba Nya akan diperhitungkan terlebih dahulu di hari kiamat. Kalau salatnya baik, maka baiklah seluruh bagian agamanya. Begitu besarnya nilai salat maka karena itulah salat menjadi fardhu dan diberikan langsung oleh Allah kepada Rasulullah Saw. di Sidratulmuntaha. Menurut Riwayat dikatakan Allah Ta’ala pada mulanya telah mewajibkan kepada umat Nabi Muhammad Saw. lima puluh kali salat dalam sehari semalam. Rasulullah Saw. menerima kewajiban itu, Namun dalam perjalanan pulangnya beliau bertemu kembali dengan Nabi Musa as. Setelah keduanya berbincang-bincang, lalu Nabi Musa as. Berkata, “Sebaiknya Anda kembali kepada Allah dan memohon keringanan”. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang sehingga pada akhirnya kewajiban itu ditetapkan hanya lima kali sehari dengan pahala salat lima puluh sekali.[3]

Dalam ayat yang berbunyi:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah Salat kalian, dan Salat wustha. Berdirilah untuk Allah dengan khusyuk. (QS. al-Baqarah: 238)

Adapun yang dimaksud dengan ‘salat’ dalam ayat ini adalah salat dengan rukun-rukun anggota tubuh lahiriah yang dilakukan dengan gerak jasmani, seperti berdiri, merapalkan, rukuk, sujud, duduk, bersuara, dan melafalkan doa. Itulah sebabnya, perintah Allah dalam ayat ini berbentuk jamak, yaitu peliharalah salat kalian. Sedangkan yang dimaksud salat wustha’ dalam ayat ini adalah salat hati. Salat jenis ini berlangsung selamanya. Karena jika si hamba alpa dari salat hati, maka salat hati dan sekaligus salat tubuh yang dilakukannya menjadi rusak.[4]

لاَصَلاَةَإِلاَّبِحُضُوْرِالْقَلْبِ

Salat tidak sah, kecuali hanya dengan kehadiran hati.

Karena seorang yang salat sebenarnya sedang bermunajat kepada Tuhannya dan tempat munajat adalah hati. Hati menjadi pangkal seluruh tubuh, sedangkan semua organ lainnya hanya mengikutinya. Sebagaimana dalam sebuah hadis, “Ketahuilah bahwa didalam tubuh ada segumpal darah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Tapi jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa itu adalah hati”. (HR. Bukhori)

Salat hati dilakukan disepanjang usia. Masjidnya adalah hati. Jamaahnya adalah menyatukan semua daya batin untuk menyibukkan diri dengan nama-nama tauhid menggunakan lisan batin. Imam shalat hati adalah kerinduan kepada Allah di dalam fuad.[5] Kiblatnya adalah kehadiran Allah dan keindahan Allah yang merupakan kiblat hakikat. Hati dan ruh sibuk dengan jenis salat yang satu ini di sepanjang masa. Lebih sempurna lagi ketika salat lahiriah dan salat hati menyatu lahir dan batin, pahala salat seperti ini luar biasa besarnya yaitu berupa kedekatan rohani dengan Allah dan derajat jasmani yang tinggi. Orang yang melakukannya menjadi hamba secara lahir dan menjadi arif secara batin.[6] Jika salat kita sudah seperti yang dijelaskan tadi, maka kita sampai kepada Allah. Pengertian sampai kepada Allah sama sekali bukan seperti sampainya jisim pada bentuk wadak tubuh manusia atau seperti sampainya pengetahuan pada sesuatu yang diketahui atau seperti akal pikiran pada sesuatu yang dipikirkan dan tidak pula seperti dugaan pada sesuatu yang diduga. Melainkan pengertian pencapaian adalah sesuai dengan kadar keterputusan dari semua yang selain Dia (Allah); tanpa ukuran dekat, jauh, arah, berhadapan, ketersambungan, dan juga tanpa keterpisahan.[7]

Salat sebagai pemberian Allah kepada Rasulullah ternyata menjadikan salat sebagai media bagi manusia biasa untuk mikraj menuju Allah. Perlu diperhatikan model mikraj antara Rasulullah dan manusia biasa tentulah berbeda dan makna mikraj disini diartikan secara implisit dan simbolik berarti dekat dan sampainya hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhannya. Rasulullah dalam isra mikraj itu dengan kehendak Allah karena dibebaskan oleh-Nya dari belenggu dimensi ruang-waktu, telah melakukan perjalanan dalam ‘lorong waktu’, sehingga beliau dapat melihat dan mengalami hal-hal di masa lalu dan di masa mendatang sekaligus. Sebab Allah sendiri pun tidak terikat ruang dan waktu dan baik ruang maupun waktu itu tidak lain adalah ciptaan Allah semata, tidak mutlak dan tidak abadi.[8] Sedangkan manusia biasa harus melewati proses yang panjang dengan membersihkan segala sifat tercela yang ada pada hatinya (walaupun Rasulullah dibelah dadanya untuk disucikan, namun bukan berarti Rasulullah memiliki sifat tercela dalam hatinya melainkan untuk mensucikan sesuatu yang sudah suci karena akan bertemu dengan yang maha suci) dan menjaga segala anggota tubuh dan hati dari sesuatu yang dapat menjauhkan dirinya dengan Tuhannya. Setelah semua sifat tercela sudah dibersihkan, maka hiasilah dengan sifat terpuji dalam hatinya. Rasulullah naik ke langit ketujuh sampai pada Sidratulmuntaha dan melihat surga dan neraka. Sedangkan manusia biasa dalam mikraj nya menuju Allah yaitu berpindahnya dari ketidakhadiran menuju kehadiran hatinya dengan mengingat dan bermunajat kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Dan dalam mikraj, Rasulullah mendapat pemberian dari Allah berupa salat, sementara manusia biasa akan mendapatkan ketenangan hati dan cahaya ilahi kedalam lubuk hatinya.


[1] Fatoni Achmad & Ivonia, “Studi Analitis Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW dalam Pendekatan Sains”, Jurnal Momentum, Vol. 07 No. 1 (November, 2018), Hal. 162-163.

[2] Nasaruddin Umar, 2018, “Khutbah-Khutbah Imam Besar”, Tangerang Selatan: Pustaka IIMaN & CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Hal. 39.

[3] Najmuddin al Ghaithi, “Kisah Isra’ Mi’raj Rasulullah Saw”, Terj. Achmad Sunarto, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2012), Hal. 112-113.

[4] Abdul Qadir al Jailani, “Kitab Sirrul Asrar; Rahasia di Balik Rahasia Menemukan Hakikat Allah”, Terj. Fuad Syaifudin Nur, (Jakarta: PT Rene Turos, 2019), Hal. 145-146.

[5] Fuad adalah bagian hati yang berkaitan dengan makrifat.

[6] Abdul Qadir al Jailani, “Kitab Sirrul Asrar; Rahasia di Balik Rahasia Menemukan Hakikat Allah”, Terj. Fuad Syaifudin Nur, (Jakarta: PT Rene Turos, 2019), Hal. 148.

[7] Ibid, Hal. 115.

[8] Buddy Munawar Rachman & Elza Peldi Taher, “Banyak Jalan Menuju Tuhan”, (Depok: Imania, 2013), Hal. 310.

One Comment

Leave a Reply

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.