Skip to main content

https://pin.it/52WlXI3ou

Judul : Rindu

Penulis : Tere Liye

Penerbit : Republika Penerbit

Tanggal rilis : Oktober 2014

Jumlah halaman : 544 halaman

Novel Rindu karya Tere Liye adalah Islamic Book yang menceritakan perjalanan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan akibat cerita masa lalu yang dipendam oleh empat tokoh utamanya, hingga kian bersarang menjadi kepiluan dan kerinduan di hidup mereka. Menakjubkannya rahasia dari pertanyaan-pertanyaan mereka justru terungkap di atas Kapal Blitar Holland dengan tujuan ibadah haji, tahun 1928.

Pertanyaan pertama lahir dari kisah Bonda Upe. Seorang wanita keturunan China dengan nama asli Ling Ling. Pada usianya yang lima belas tahun, ia mengalami kejadian yang memilukan dan traumatis. Yakni Upe terpaksa menjadi cabo di sebuah tempat bernama Macao Po, konon tempat paling nista di Batavia.

Lima belas tahun lamanya Bonda Upe menjadi cabo, hingga akhirnya ia berhasil keluar dari tempat itu. Kemudian, Upe memulai hidup baru dengan belajar agama lebih dalam. Namun, ingatan bekas kejadian belasan tahun itu tidak terelakkan dari pikiran Bonda Upe. Hingga timbul pertanyaan demikian saat ia dalam perjalanan menuju Mekkah,“Apakah Allah akan menerimanya di Tanah Suci? Apakah Perempuan hina sepertinya berhak menginjak Tanah Suci?…”

Pertanyaan kedua berasal dari tokoh yang bernama Daeng Andipati. Seorang pebisnis sukses yang hidupnya tampak sempurna, setidaknya dari luar. Andipati diberkati dengan harta benda, nama baik, pendidikan tinggi, istri yang cantik hingga anak-anak yang pintar dan menggemaskan. Namun, pria ini sebetulnya menyimpan kisah pilu yang kian bertumbuh menjadi amarah selama bertahun-tahun.

Andipati lahir dari keluarga yang kaya raya dan dipandang baik. Tanpa orang-orang tahu, bahwa sang Ayah yang dihormati itu, seringkali memukuli ibunya dan kerap berlaku semena-mena kepada karyawan-karyawannya. Sejak usia belia, Andipati telah memupuk amarah dan kekecewaan yang besar kapada Ayahnya. Bahkan setelah Ayahnya meninggal dunia, kebencian itu sama sekali tidak berkurang.

Luka seumur hidup ini terus menggerogoti Andipati. Hingga Andipati mempertanyakan “Apakah dirinya bahagia selama ini?” sebab setelah memiliki semuanya pun, Andipati masih sulit menafsirkan makna kebahagiaan sejati menurutnya.

Pertanyaan ketiga lahir dipicu kisah cinta dari tokoh bernama Ambo Uleng. Seorang pelaut hebat nan gagah, namun justru menjadi kelasi bagian dapur di Kapal Blitar Holland. Karena, sebetulnya Ambo hanya ingin pergi sejauh-jauhnya dari Makassar, dengan harapan ia dapat sembuh dari luka sebab tidak dapat memiliki gadis yang cintainya.

Namun, sejauh apapun Ambo pergi, kisah dengan gadisnya di Makassar itu selalu menganggu dirinya dan membuat dirinya sedih tidak berkesudahan. Hingga tercetus pertanyaan dari Ambo “Apakah itu cinta sejati? Apakah ia besok lusa akan berjodoh dengan gadis itu? Apakah ia masih memiliki kesempatan?”

Pertanyaan-pertanyaan dari Bonda Upe, Andipati hingga Ambo Uleng selalu dijawab oleh seorang ulama terhormat dari Makassar, Ahmad Karaeng atau biasa dipanggil Gurutta. Beliau dianggap sebagai seseorang yang bijaksana dan selalu mampu untuk menjawab segala pertanyaan. Namun, sebetulnya Gurutta sendiri menyimpan pertanyaan yang ia pendam selama bertahun-tahun dan tidak dapat terpecahkan oleh dirinya sendiri.

Uniknya seseorang yang selalu mendengarkan masalah orang lain, mencarikan solusi, hingga memberi jawaban atas pertanyaan hidup orang-orang, justru tidak mampu menjawab pertanyaan mengenai hidupnya.

Ahmad Karaeng muda pernah jatuh cinta dengan putri dari gurunya, Syeikh Raniri. Gadis itu bernama Cut Keumala. Namun, seminggu sebelum pernikahan mereka terjadi tragedi yang menewaskan Keumala. Kejadian itu telah merubah hidup Ahmad Karaeng yang semula indah menjadi jatuh ke dasar bumi, disergap kesedihan.

“Apakah mungkin karena ia sendiri tidak pernah seyakin itu atas pengetahuan yang ia miliki? Apakah ia sendiri memang tidak sebijak, setangguh bahkan sebaik itu? Bagaimana ia menulis untuk menggerakkan hati pembaca, sementara ia sendiri tidak tergerak?…” inilah pertanyaan-pertanyaan yang kerap mengukung isi pikiran Gurutta. Lantas siapakah yang mampu mengantarkan Gurutta pada jawaban yang bahkan tidak ia ketahui itu?

Novel ini ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami bagi pembaca, sehingga memungkinkan untuk dinikmati oleh berbagai kalangan usia. Selain itu, alur cerita juga tidak membingungkan pembaca. Penulis menyajikan kronologi cerita runtut dan jelas sehingga nyaman dinikmati.

Pada novel ini juga banyak ditemukan kalimat-kalimat yang mengandung pesan moral, sehingga bisa menjadi pengingat dan pelajaran bagi yang membaca. Walaupun demikian, banyak juga cerita-cerita lucu yang menyelingi tiap bagiannya, sehingga tidak membuat kesan novel ini terlalu serius.

Penulis juga berhasil mendeskripsikan bagaimana karakter dari masing-masing tokoh dari jatah dialog yang mereka miliki, sehingga pembaca dengan mudah menilai karakter tokoh yang ada pada novel ini.

Namun, tentunya novel ini juga memiliki kekurangan. Salah satunya adalah novel ini tidak memiliki puncak klimaks yang benar-benar berkesan dan membuat pembaca greget. Konsep ceritanya terkesan terlalu datar dan tidak ada konflik serius yang membuat pembaca terpicut.

Terlepas dari kekurangan yang dimiliki novel ini, karya Tere Liye satu ini tetap direkomendasikan untuk dibaca. Cocok untuk anda yang sedang mencari bacaan ringan yang mengalir, tapi tetap memiliki banyak pelajaran yang bisa dipetik.

HIQMA UIN Jakarta,

Shifa Isyalini Sukino & Ika Shafarianti

Leave a Reply

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.