Oleh : Aldi Maulana
Terkait tema yang diusungkan beliau menyampaikan “Sebenarnya hadroh sudah ada sejak zaman dahulu, yakni pada saat penyambutan Rasulullah berikut alat nya pun sama sama berasal dari kulit dan berbentuk bulat. Hadroh ini pertama dikembangkan di Kalimantan yang tujuan utama nya itu untuk bermunajat. Lalu masuk ke daerah Jawa timur yang salah satu gurunya adalah Gus Aying dan Ust. Umar Bunyamin, kemudian beliau mempunyai murid bernama Ust. Hanafi (Madiun).
Terkait perkembangannya, hadroh memiliki warna nya masing-masing. Seperti yang kita kenal sejauh ini adalah Banjari (hadroh murni 4, Bass 1, dan Vokal 5). dan di daerah lain seperti Cirebon, Semarangan dengan Pukulan kaidah Tulung Agung (Kreasi, karena ada yang memakai Tari, Bass besar, dan Ketung).
Pada tahun 2000 Ust. Hanafi datang ke Jakarta untuk memperkenalkan suatu pukulan untuk mengiringi shalawat tepatnya di Pondok Al-Falah Pasar Minggu. yang pada saat itu belum ada festival dan lomba yang ada hanyalah majelis, pada saat itu Majelis paling besar di Jakarta adalah Majelis Habib Mundzir bin Fuad Al Musawa (Cidodol, Kebayoran Lama). Lalu Ust. Hanafi di minta untuk mengajarkan hadroh di majelis itu yang kemudian berkembang sampai sekarang yang kita kenal sebagai “Hadroh Majelis Rasulullah”. Lalu semakin berkembang lagi, kemudian muncullah Majelis dari Habib Hasan yakni “Hadroh Majelis Nurul Musthafa”. Kemudian dua majelis besar ini saling bersilaturahim, namun sejauh ini semakin banyak perbedaan antara Majelis Rasulullah dan Majelis Nurul Musthofa yang selalu mengikuti perkembangan zaman.
Pada tahun 2006 Ust. Hanafi mengajarkan hadroh pada Majelis Ikhwanusshofa, kemudian Majelis Ikhwanusshofa megajarkan pada Jami’ah Hadroh se-Jabodetabek. Pada saat itu ada persaingan budaya seiring dengan berkembangnya marawis dan qasidah yang di iringi dengan tarian-tarian dan berbagai variasi lainnya, berbeda dengan hadroh. Ada perbedaan pukulan pada saat Banjari awal, sebelum di grid (cara memainkan hadroh dengan diangkat/tidak diletakkan dibawah) suara pukulannya adalah Tang dan Dung, kemudian pada tahun 2001 ketika sudah di grid suara pukulannya adalah Tak dan Dung karena kebutuhan festival yang dinilai adalah kejelasan suara. Namun Ust. Hanafi sendiri mengartikan mengapa harus di grid? Yakni karena kita sedang mengangkat doa karena ini tidak boleh di taruh di bawah.
Hadroh adalah nama alatnya, terbangan adalah sebutan untuk nama pukulannya, sedangkan disebut banjari adalah karena dikembangkan oleh Syekh Arsyad Al Banjari yang berasal dari Banjarmasin
Kemudian ada beberapa pertanyaan dari salah satu dari peserta diskusi pada malam hari ini mengenai “Mengapa hadroh tidak menggunakan koreografi ketika festival ataupun ketika sedang majlis?” yang langsung dijawab oleh pemateri “yakni secara umum dinilai melalui adab karena banjari sendiri ketika di mainkan mesti di khidmati, semakin jelas pukulan nya semakin dia mengkhayati pukulan dan shalawatnya. Dan dari segi kaidah nya pun Banjari di bawakan sembari duduk kecuali ketika mahallul qiyaam, berbeda dengan kreasi yang di lihat adalah perform, kemeriahan, dan sesuai dengan perkembangan zaman. Jika di ibaratkan Banjari itu sebagai munajatnya.”
Kesimpulan yang dapat diambil dari diskusi malam ini adalah “sebagai pemuda dan generasi bangsa, hadirnya hadroh adalah sebagai kegiatan yang baik dan positif untuk dilakukan melalui lantunan shalawat. Karena semakin sering kita menyibukkan diri dengan kegiatan positif, akan menyempitkan kita untuk melakukan hal negatif. “
Semoga bermanfaat
WaAllahu A’lamu Bish-Showwab