Muhammad II, juga dikenal sebagai Mehmed II dalam bahasa Turki, dijuluki Sultan Muhammad Al-Fatih (Sang Penakluk). Beliau adalah putra dari Sultan Murad II, yang menjadi khalifah sebelumnya. Muhammad Al-Fatih merupakan tokoh yang pada akhirnya ditakdirkan untuk menjadi salah satu panglima terbesar yang menaklukkan Kota Konstantinopel (Ibukota Romawi Timur), memenuhi prediksi Rasulullah Saw.
“Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang memimpin penaklukkannya, dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang menaklukkannya.” (HR. Bukhari, Ahmad dan al-Hakim)
Sultan Muhammad Al-Fatih merupakan penerus Dinasti Turki Utsmani yang diwarisi tugas besar untuk menaklukan Konstantinopel. Sejarah mencatat bahwa upaya untuk menaklukkan Konstantinopel telah dilakukan sebanyak enam kali, dimulai dari zaman Usman bin Affan hingga masa pemerintahan Murad II, ayah dari Muhammad Al-Fatih. Melalui misi yang turun dari generasi ke generasi serta hadis-hadist mengenai penaklulkkan Konstantinopel telah mendorong Sultan Muhammad Al-Fatih untuk mewujudkan mimpi besar leluhurnya dan menjadi ahlu bisyarah, yakni sosok ‘sebaik-baik panglima’ yang dimaksud oleh Rasulullah Saw.
Sejak Belia Al-Fatih telah disiapkan agar kelak menjadi sosok pemimpin yang matang. Sang Ayah, Sultan Murad II memang mencarikan dan menugaskan ulama-ulama terbaik di zamannya untuk mengajarkan Muhammad II belajar berbagai disiplin ilmu. Dua ulama terbaik yang ditugaskan untuk mendampingi Al Fatih adalah Syekh Ahmad Al-Kurani dan Syeikh Aaq Syamsuddin.
Syekh Ahmad Al-Kurani, seorang ulama yang sangat dihormati. Imam Suyuthi, dalam tulisannya, menggambarkan beliau sebagai sosok yang berilmu dan faqih, diakui oleh ulama lain pada zamannya karena keunggulannya dalam ilmu ma’qul dan manqul. Syekh Ahmad Al-Kurani juga ahli dalam bahasa Arab, retorika, serta memiliki pengetahuan mendalam dalam fiqh, dikenal dengan berbagai keutamaannya. Di bawah bimbingan Syaikh Ahmad Al-Kurani, Muhammad II mulai menghafal Al-Qur’an dan belajar etika pembelajaran ketika masih berusia 8 tahun.
Sementara Syekh Aaq Syamsuddin adalah ulama besar yang memiliki nasab bersambung dengan Abu Bakar As-Shiddiq. Beliau menjadi hafiz qur’an di usia 7 tahun. Serta merupakan pakar dalam bidang biologi, kedokteran, astronomi dan pengobatan herbal. Dibawah bimbingannya, Al-Fatih selalu diberi motivasi dan afirmasi positif untuk mewujudkan penaklukkan Konstantinopel.
Dibawah didikan kedua ulama hebat tersebut, Al-Fatih berhasil tumbuh menjadi sosok yang memukau. Pada usia kurang dari 17 tahun, Al-Fatih telah menguasai 8 bahasa, ilmu sejarah, geografi, syair dan puisi, seni juga teknik militer. Berbagai disiplin ilmu, soft skill-hard skill, literasi dan pendidikan karakter dikuasai dengan total oleh beliau di usia yang masih belia.
Berlanjut ke saat dimana Al-Fatih mulai menyusun terobosan untuk menaklukkan Konstantinopel. Terdapat terobosan-terobosan cerdas dan prinsip yang dipegang teguh oleh Al-Fatih, hingga akhirnya berhasil menaklukkan Konstantinopel pada 1453. Salah satu terobosan yang menunjukkan kecerdasan Al-Fatih adalah adalah membangun Benteng Rumeli Hisari. Beliau membangun benteng tersebut di lokasi yang sangat cerdik. Benteng ini berdiri di titik terdekat dengan Selat Bosphorus yang memisahkan Turkey bagian Eropa dan Asia. Titik ini seringkali menjadi jalur penyebrangan tentara persia. Dengan lokasinya yang strategis, benteng ini memiliki berbagai fungsi untuk pengawasan, pengamanan bahkan penyerangan.
Selanjutnya adalah analisis SWOT (strength, weakness, opportunitu and threat). Dari analisa yang dilakukannya, diketahui bahwa penduduk Konstantinopel merasa sangat yakin dengan kekuatan benteng, tembok benteng di sebelah Timur adalah yang paling lemah dan hubungan yang rapuh antara Konstantinopel dengan para sekutunya. Maka ditentukanlah terobosan baru untuk membuat senjata baru yang mampu merobohkan benteng, menjadikan benteng Timur sebagai pintu masuk penaklukkan dan kebijakan diplomasi untuk mencegah sekutu Konstantinopel mengirim bala bantuan.
Dalam proses penaklukkan Konstantinopel, tentulah tidak selalu berjalan mulus, banyak hambatan yang datang silih berganti menguji keteguhan juga perjuangan Al-Fatih beserta pasukannya. Seperti surat ancaman dari Kaisar Constantine, pengkhianatan yang dilakukan oleh Khalil Pasha, kesulitan saat memindahkan 72 kapal melalui pendakian bukit Galata, menyaksikan pasukannya berguguran dan dinamika lainnya. Namun berkat keteguhan hati dan niat berjihad karena Allah SWT. tiba juga saatnya menjelang penaklukkan Konstantinopel, yaitu hampir 50 hari sejak pengepungan dilakukan. Al-Fatih dan pasukannya fokus untuk memperbanyak dan meningkatkan kualitas ibadah. Para ulama juga ikut mendampingi dan memberi keyakininan untuk terus ikhlas dan siap berjihad untuk pembebasan esok.
Kemudian, tepat pada hari Senin, 19 Jumadil Ula 857 H atau 28 Mei 1453, pada hari itulah kota Konstantinopel akhirnya jatuh. Sungguh perjalanan yang luar biasa. Kalimat Takbir diucapkan bersahut-sahutan oleh kaum Muslimim. Kota yang dirindukan oleh para leluhur Muslim akhirnya jatuh ke tangan pemimpin belia, Muhammad Al-Fatih.
Dari kisah dan dinamika perjuangan Muhammad Al-Fatih dengan pasukan Muslim untuk menaklukkan Konstantinopel tentu banyak nilai-nilai kehidupan yang dapak kita petik. Pertama, Keberanian Muhammad Al-Fatih dalam menghadapi tantangan besar menaklukkan sebuah kota yang dianggap tak terkalahkan menunjukkan pentingnya memiliki keberanian dan tekad yang kuat dalam menghadapi rintangan dan mencapai tujuan. Dalam kehidupan sehari-hari, nilai ini mengajarkan pentingnya untuk tidak mundur ketika dihadapkan pada kesulitan, tetapi untuk tetap berani dan bertekad mencapai tujuan.
Kedua, Visi dan Perencanaan Strategis. Muhammad Al-Fatih memiliki visi jauh ke depan untuk menaklukkan Konstantinopel, dan dia merencanakan strategi militer yang cermat untuk mencapai tujuan tersebut. Pelajaran ini mengajarkan pentingnya memiliki visi yang jelas dan merencanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang.
Ketiga, Ketekunan dan Konsistensi. Proses penaklukan Konstantinopel membutuhkan ketekunan yang luar biasa dari Muhammad Al-Fatih dan pasukannya. Mereka tidak menyerah meskipun menghadapi rintangan dan pengepungan yang panjang. Ini mengajarkan nilai ketekunan dan konsistensi dalam mengejar tujuan, bahkan ketika menghadapi kesulitan.
Keempat, Kerjasama dan Kepemimpinan. Muhammad Al-Fatih berhasil memimpin pasukannya dengan baik dan membangun kerjasama yang kuat di antara mereka untuk mencapai kemenangan. Ini menunjukkan pentingnya kepemimpinan yang efektif dan kemampuan untuk bekerja sama sebagai tim dalam mencapai tujuan bersama.
Kelima, Kepercayaan pada Idznullah dan Nashrullah. Penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih sering dianggap sebagai bukti dari kepercayaan yang dalam pada Allah dan keyakinan bahwa bantuan-Nya akan diberikan kepada mereka yang berjuang dengan sungguh-sungguh. Ini mengajarkan nilai kepercayaan, keyakinan, dan tawakal dalam menjalani kehidupan. Hal ini sesuai dengan firman Allah berikut :
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dalam dengan Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.” (QS. An-Nasr : 1-3)
Kesimpulannya, jangan pernah takut bermimpi besar. Sebab, tidak ada yang tidak mungkin jika Allah telah menghendakinya. Percayalah bahwa pertolongan Allah itu dekat. Namun, kita sebagai mahluk tetap perlu memaksimalkan ikhitar yang selalu terikat dengan syariat dipandu dengan iman yang kokoh dan produktif, maka akan membawa kelayakan diri untuk menerima idznullah dan nashrullah. Sebab semua kesuksesan dan kemenangan, tidak luput dari campur tangan dan pertolongan Allah SWT.
HIQMA UIN Jakarta,
Ika Shafarianti dan Shifa Isyalini Sukino
Daftar Pustaka
Widjajakusuma, K. Muhammad. (2023). Transformational Leadership : Belajar Dari Muhammad Al-Fatih, Achieving The Impossible. Bogor : PT Penerbit IPB Press.
Risnayanti, A., Nurkidam, A., dan Musayif. (2022). Strategi Sultan Muhammad Al-Fatih dalam Penaklukkan Konstantinopel Tahun 1452-1481 M. Jurnal Sejarah dan Budaya.