(Akhmad Fawzi)
Makna dan Cakupan Ahli Kitab Menurut Mufassir dan Pemikir
Istilah “Ahlul Kitab” berasal dari kata bahasa arab yang tersusun dari bentuk idhafah yaitu ahlu dan al-kitab. Kata ahl terdiri dari huruf alif, ha, dan lam, yang secara literar mengandung pengertian ramah, senang, atau suka. Kata Ahlul juga dapat dipergunakan untuk menunjuk suatu hubungan yang didasarkan atas ikatan ideologi atau Agama.[1] Terminologi Ahlul juga digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk suatu komunitas yang mempunyai otoritas yang bisa dipertanggungjawabkan dalam bidang keagamaan. Selanjutnya, kata al-Kitab adalah menghimpun sesuatu dengan sesuatu yang lain. Term kitab kemudian diartikan tulisan, karena tulisan ini sendiri menunjukkan rangkaian dari beberapa huruf termasuk juga firman Allah yang diturunkan kepada para Rasulnya yang berupa kitab suci, baik yang telah diturunkan kepada Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, maupun wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sendiri. dengan demikian pengertian Ahlul Kitab disini mengacu kepada komunitas atau kelompok pemeluk agama yang memiliki kitab suci yang diwahyukan Allah kepada Nabi dan Rasulnya.[2]
Banyak pandangan mengenai makna dari ahlul kitab begitu juga dengan cakupannya. Dalam KBBI disebutkan bahwa ahlul kitab adalah orang-orang yang berpegang kepada kitab suci selain al-Qur’an. Sedangkan dalam buku “Ensiklopedi Hukum Islam” ahlul kitab adalah orang-orang yang mempunyai kitab.[3] Mengenai Cakupannya secara garis besar berdasarkan berbagai pandangan para tokoh terdapat pandangan yang sempit dan yang luas mengenai ruang lingkup dari ahlul kitab. Menurut M. Quraish Shihab bahwa pengertian ahlul kitab hanya untuk semua penganut Agama Yahudi dan Nasrani saja, kapan, di manapun, dan keturunan siapapun mereka.[4] Sedangkan Hamka menyebutkan bahwa ahlul kitab terdiri dari Yahudi dan Nasrani, tetapi ia tidak memberi kriteria tertentu sehingga setiap dari Yahudi dan Nasrani disebut ahlul kitab. Berbeda dari kedua tokoh tersebut, imam Syafi’i dalam kitab al-Umm mempersempit makna dengan mengatakan bahwa yang disebut ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan dari orang Israil. Jadi, menurut imam Syafi’i jika bukan orang Yahudi dan Nasrani keturunan israil maka tidak disebut sebagai Yahudi dan Nasrani.[5] Begitu juga dengan Ibnu Katsir yang menyebutkan bahwa ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani.
Nurcholish Madjid mengatakan sebagian ayat Al-Qur’an yang bernada positif dan simpatik kepada ahlul kitab menetapkan kepada mereka yang beriman dan berpegang teguh kepada ajaran kitab suci mereka sebelum datangnya Al-Qur’an. Akan tetapi ayat-ayat Al-Qur’an juga memberitahukan bahwa telah terjadi perubahan besar-besaran terhadap ajaran Agama ahlul kitab. Meski demikian, al-Quran tetap mengakui bahwa diantara mereka ada kelompok yang tetap berpegang teguh pada ajaran Agamanya walaupun kelompok minoritas.[6] Untuk mempertegas argumennya, Cak Nur bersandar dan menyetujui penafsiran pembaharu Islam dari Mesir yaitu Rasyid Ridha. Sebagaimana dikutip Cak Nur, Rasyid Ridha menegaskan bahwa selain kaum Yahudi dan Nasrani juga terdapat ahlul kitab dan ia juga menyebutkan bahwa ahlul kitab tidak saja kaum-kaum Majusi (Zoroaster) dan Shabi’in saja, tetapi juga Hindu, Buddha dan Konghucu.[7] Selain Rasyid Ridha, ada juga Mohammed Arkoun yang berusaha menjelaskan konsep ahlul kitab dengan menggunakan pendekatan dekonstruksi atas konsep lama mengenai ahlul kitab yang dipahami secara sempit oleh para Mufassir Al-qur’an terdahulu bahkan hingga sekarang. Arkoun mencoba memperluas pengertian dan cakupan ahlul kitab sehingga tidak terkesan eksklusif dan negatif dalam memandang Agama-Agama lain. Arkoun menggunakan model pendekatan yang baru dalam menafsirkan makna dan cakupan ahlul kitab dengan mengubah, membongkar dan menggantinya dengan istilah baru yakni masyarakat kitab. Baginya, istilah “Masyarakat Kitab” lebih tepat karena mengandung makna dan cakupan yang luas yaitu seluruh komunitas masyarakat yang memiliki kitab, terlepas bagaimana kemudian kitab suci mereka dipahami sebagai sesuatu yang sudah menyimpang.[8]
Bagaimana Sikap Islam Terhadap Ahli Kitab?
Ketika Nabi Muhammad hadir, berbagai kalangan masyarakat Makkah ada semacam messianisme, yang mana kalangan-kalangan masyarakat arab ini tidak mau menerima agama Yahudi dan Kristen karena mereka menghendaki Agama yang tersendiri sehingga mereka dapat memperoleh petunjuk yang lebih baik daripada yang diperoleh oleh kedua kaum tersebut. Setelah Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul Allah, Al-Qur’an berulangkali menyebutkan satu kelompok dan mengenai kelompok ini Al-Qur’an berkata “Kami telah memberikan kitab kepada mereka (Taurat dan Injil) sedang mereka mempercayai Al-Qur’an”. Ayat tersebut menunjukkan adanya harapan messianis dan mendukung Nabi Muhammad dalam menjalankan misi kerasulannya.
Nabi Muhammad benar-benar yakin bahwa kitab-kitab suci yang terdahulu adalah dari Allah dan bahwa mereka yang menyampaikan kitab-kitab suci tersebut adalah Nabi-Nabi Allah. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad tanpa ragu mengakui bahwa Ibrahim, Musa, Isa dan tokoh religius lainnya yang disebutkan didalam perjanjian lama dan perjanjian baru adalah Nabi-Nabi seperti dirinya sendiri.[9] Selain itu, dalam ayat-ayat yang semula kali diturunkan, Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan masyarakat-masyarakat Agama yang tertentu. Memang didalam Al-Quran dikatakan bahwa para Nabi menyeru kaum-kaum dan bangsa-bangsa yang berbeda pada masa yang berbeda, tetapi risalah-risalah yang disampaikan mereka adalah universal dan identik; semua risalah tersebut terpancar dari sebuah sumber yang tunggal: “Ummul Kitab” (43:4; 13:39) atau “kitab yang tersembunyi” (56:78).
Karena risalah-risalah tersebut universal dan identik, maka manusia harus mempercayai semuanya. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad merasa berkeharusan untuk mengakui kenabian Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa karena agama Allah tidak dapat dipecah-pecah dan demikian pula halnya dengan kenabian. Bahkan Al-Qur’an menyuruh Nabi Muhammad untuk mengatakan bahwa disamping mempercayai Taurat dan Injil “Aku mempercayai setiap kitab yang diwahyukan Allah”(42:15).[10] Hal ini adalah karena petunjuk Allah yang universal dan tidak terbatas kepada kaum-kaum tertentu saja.
Al-Qur’an secara berungkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh didalam kaum Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman dalam Islam: Orang-orang beriman (orang-orang muslim), orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen, dan orang-orang Shabi’in yang percaya kepada Allah dan hari kiamat serta melakukan amal kebajikan akan memperoleh ganjaran dari Tuhan mereka, tidak ada sesuatu pun yang harus mereka kuatirkan dan mereka tidak akan berduka (2:62). Bersamaan dengan itu, terdapat juga kekerasan nada Al-Quran sehubungan dengan doktrin inkarnasi dan trinitas seperti dalam Qs. al-Maidah ayat 17 dan 77.
Referensi:
Mukhammad Khakim. 2012. “Ahl Al-Kitab Menurut Nurcholish Madjid dan M. Quraish Shihab”. Skripsi. Fakultas Agama Islam. Universitas Muhammadiyah: Surakarta.
Putra, Andi Eka. 2016. Konsep Ahlul al-Kitab dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran Muhammed Arkoun dan Nurcholish Madjid. Jurnal Al-Dzikra. X(1): 46-61.
Rahman, Fazlur. 1980. Tema Pokok al-Qur’an. Terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka.
[1] Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran Muhammed Arkoun dan Nurcholish Madjid”, Jurnal Al-Dzikra Vol. X No. 1 (Januari-Juni, 2016), Hal. 46.
[2] Ibid, Hal. 47.
[3] Muslim Djuned dan Nazla Mufidah, “Makna Ahli Kitab dalam Tafsir al-Manar”, Jurnal Tafse Vol. 1 No. 1 (Juni, 2017), Hal. 3.
[4] Mukhammad Khakim, 2012, “Ahl Al-Kitab Menurut Nurcholish Madjid dan M. Quraish Shihab”, Skripsi, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah: Surakarta.
[5] Ibid,.
[6] Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran Muhammed Arkoun dan Nurcholish Madjid”, Jurnal Al-Dzikra Vol. X No. 1 (Januari-Juni, 2016), Hal. 52.
[7] Ibid, Hal. 52-53.
[8] Ibid, Hal. 61.
[9] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1980), Hal. 234.
[10] Ibid, Hal. 235.