https://i.pinimg.com/736x/1f/80/5a/1f805a74942b3b8a8e605a13229885c2–islamic.jpg
Haji memiliki arti menuju. Ibadah haji merupakan ibadah yang telah diturunkan Allah SWT. sejak masa Nabi Adam AS dan wajib dilakukan oleh setiap muslim yang mampu. Ibadah haji merupakan salah satu tonggak dari lima rukun Islam. Masuknya ibadah haji menjadi bagian dari rukun Islam, menunjukkan bahwa ibadah ini memiliki posisi yang tinggi dan penting dalam Islam. Selain hal ini, kedudukan haji sebagai salah satu ibadah yang penting juga tertuai dalam firman Allah berikut :
وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍۙ
Artinya : “(Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj [22] : 27)
Namun, sebetulnya apa esensi dari ibadah haji? Apakah semata-mata menyelesaikan rangkaian manasik dan menunaikan kewajiban tanpa menyelami makna dan ilmu di dalamnya? Tentulah tidak. Maka, sebelum melaksanakan ibadah haji atau dalam proses mempersiapkannya, janganlah hanya fokus pada aspek materi saja. Melainkan, juga penting untuk membersihkan hati dan niat agar hanya tertuju untuk Allah SWT. supaya tidak merusak nilai ibadah haji, kemudian persiapkan bekal berupa pengetahuan mengenai fiqih haji supaya tidak keliru dalam pelaksanannya.
Asal-usul mengenai haji dimulai sejak masa Nabi Adam AS, saat beliau dan istrinya Siti Hawa diturunkan dari surga ke muka bumi, sebab telah melanggar larangan Allah dan terjerumus dalam godaan iblis. Dikemukakan oleh sejarawan, bahwa pada saat itu mereka turun dilokasi yang berjauhan. Adam diturunkan di sekitaran India dan Hawa diturunkan di Jeddah, Saudi Arabia. Saat itu. mereka saling mencari satu sama lain, hingga akhirnya bertemu di Jabal Rahmah, Bukit Arafah.
Arafah memiliki makna mengetahui. Maka, kejadian saat Adam dan Hawa bertemu kembali dan saling mengetahui atau mengenali satu-sama lain, serta memahami bahwa sebab mereka terpisah hingga akhirnya diturunkan ke muka bumi dan jauh dari rahmat Allah SWT. disebabkan karena telah melanggar larangan-Nya. Itulah asal-usul mengapa tempat bertemunya Adam dan Hawa disebut dengan Bukit Arafah. Di masa itu, setelah keduanya sadar akan kesalahan yang diperbuat, kemudian berkomitmen untuk memperbaiki diri dan tidak akan melakukan kesalahan yang sama, maka turunlah firman Allah berikut :
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءٰتِهِمَاۗ اِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Artinya : “Wahai anak cucu Adam, janganlah sekali-kali kamu tertipu oleh setan sebagaimana ia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat mereka berdua. Sesungguhnya ia (setan) dan para pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak (bisa) melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu (sebagai) penolong bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-A’raf [7] : 27)
Ayat diatas tidak hanya diperuntukkan untuk Adam dan Hawa saja. Melainkan, untuk seluruh anak dan cucu Adam, yakni kita saat ini. Maka, firman Allah tersebut patutlah menjadi pengingat untuk senantiasa berhati-hati dan mempertebal takwa sehingga tidak mengulang kesalahan yang sama dan terjerembap dalam godaan setan, sebagaimana “ibu bapakmu” atau Adam dan Hawa.
Namun, seperti yang kita tahu, bahwa manusia itu tidak luput dari salah dan lupa. Sebutan lain untuk manusia adalan insan. Menurut Ibnu Abbas, insan seakar dengan kata nisyan dari kata nasiyah, yang artinya lupa. Maka, manusia disebut insan, sebab memiliki potensi untuk lupa. Potensi lupa yang dimiliki manusia ini, merupakan celah yang diincar oleh setan untuk menjauhkan kita dari rahmat dan kasih Allah SWT. Lalu bagaimana cara agar manusia dapat meminimalisir potensi lupa yang dimilikinya serta menangkis godaan setan? Maka, di zaman Nabi Ibrahim diturunkanlah cara yang kemudian disempurnakan, disebut dengan manasik. Rangkaian manasik dalam ibadah haji, jika diikuti dengan cara yang tepat dan niat yang bersih, maka dapat membuat diri terlindung dari godaan setan, yang mana jika godaan setan telah berhasil kita jauhi, sifat buruk pun dapat kita minimalisir, sehingga membuat hidup dunia dan akhirat senantiasa diberi berkah dan kemudahan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ibadah haji menunjukkan komitmen spiritual yang mendalam dari umat Muslim. Melalui sejarah dan kisah Nabi Adam AS dan Siti Hawa, kita diajarkan pentingnya kesadaran, taubat, dan komitmen untuk memperbaiki diri. Menjalankan haji bukan sekadar menyelesaikan rangkaian ritual, tetapi juga menyelami makna spiritual dan meningkatkan keimanan serta ketakwaan. Persiapan ibadah haji harus melibatkan pembersihan hati dan niat serta pengetahuan tentang fiqih haji untuk memastikan pelaksanaannya sesuai syariat. Dengan demikian, haji menjadi sarana untuk memperkuat iman, menghindarkan diri dari godaan setan, dan meraih keberkahan hidup di dunia dan akhirat.
https://i.pinimg.com/originals/b4/b0/6a/b4b06a670f001105a8f848949626896d.jpg
Shifa Isyalini Sukino & Ika Shafarianti,
HIQMA UIN Jakarta
Daftar Pustaka
Sahabat yamina Channel. Ust. Adi Hidayat L,c MA, Esensi Ibadah Haji. 1:30:32. 28 Agustus 2018. Dari https://youtu.be/LR-RFLVlAf8?si=8CTEiMHfQtmzyrEh.