Skip to main content

Melatih Kesabaran dan Meningkatkan Ketaqwaan di Bulan Penuh Kemuliaan

Sebagaimana yang tercantum dalam Q. S. Al-Baqarah: 183

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

                Kata yaa’ pada ayat tersebut mempunyai makna “panggilan”, baik panggilan yang berjangka dekat maupun jauh. Ada dua penafsiran mengenai kata tersebut dalam Al-Qur’an. Apakah jauh disini mengenai jauh secara jarak atau bukan? Kalau demikian, maka kita sebagai orang Indonesia tergolong orang yang jauh. Namun apabila panggilan disini bermakna dekat dalam hal “keimanan”, maka siapun, dimanapun, ia termasuk orang yang dipanggil di dalamnya. Karena ciri-ciri orang yang beriman, barang siapa mendengar ayat-ayat Allah maka akan bergetar hatinya. Maka ayat tersebut ditujukan bagi orang-orang yang merasa ada iman di dalam hatinya. Iman itu sesuatu yang abstrak. Apabila kita belajar grammar, iman ibarat abstract noun yang salah satu contohnya adalah cinta. Segala sesuatu yang berasal dari hati itu abstrak, sebagaimana iman. Ia tidak terlihat. Namun, meskipun dikatakan abstrak, ada suatu pengukuran yang bisa dilakukan untuk mengetahui kadar keimanan seseorang, yaitu melalui ‘amal yang artinya perbuatan.

                Ayat tersebut diawali dengan panggilan terhadap orang beriman dan diakhiri dengan kalimat “la’allakum tattaquun” yang artinya agar kamu bertaqwa. Pada penghujung ayat tersebut dapat diartikan secara tarajji ataupun tamaddun. Tarajji adalah suatu harapan yang mungkin terjadi. Sedangkan tamaddun adalah suatu harapan yang tidak mungkin untuk kita gapai atau yang biasa disebut dengan angan-angan. Dalam hal ini, iman termasuk dalam kategori tarajji’, yang berarti masih dapat digapai.

                Dalam konteks berpuasa, taqwa tidak dapat digapai begitu saja. Tidak mungkin, hanya bermodalkan puasa seseorang dapat dikategorikan ke dalam golongan orang-orang yang bertaqwa. Tiada berguna, orang yang berpuasa namun masih suka ghibah atau menggunjing orang lain. Tidak ada gunanya, orang yang suka berpuasa namun masih melakukan maksiat. Karena, untuk mencapai taqwa memerlukan usaha dan proses yang panjang. Sebagai misalnya, ketika seorang pria jatuh hati pada seorang wanita. Tentu hal ini bukan hanya bermodal pada pengakuan dengan mengatakan ana uhibbkuki fillah atau I love you. Namun hal ini membutuhkan proses yang harus dilalui dengan usaha dan pembuktian. Dengan apa? Dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Meningkatkan kualitas diri, serta berusaha untuk memantaskan diri dengan banyak belajar ataupun menjadi orang yang sukses dalam karir untuk mendapatkan cinta tersebut. Begitupun orang yang bertaqwa. Untuk sampai pada predikat “taqwa”, banyak proses dan usaha panjang yang harus dilewati.

                Sebagaimana kita ketahui bersama, saat ini kita berada pada bulan yang penuh kemuliaan. Bahkan kehadirannya telah dinanti-nantikan dari jauh-jauh hari. اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَا

Di bulan yang mulia ini, hanya dua kata yang perlu kita amalkan, yaitu if’al dan walaa taf’al yang artinya lakukan dan jangan lakukan. Kita harus senantiasa melakukan hablum minallah maupun hablum minannas, yaitu menjaga dan memperbaiki hubungan kita dengan Allah maupun sesama manusia. Kemudian berikutnya adalah walaa taf’al yang artinya jangan lakukan. Janganlah sekali-kali kita melakukan apa yang telah Allah larang. Lalu, bagaimana cara untuk sampai pada predikat taqwa? Hanya ada dua cara, yaitu hablum minallah dan hablum minannas. Hal ini tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat ke 2-5. Dzaalikal kitaabu laa royba fiih, hudal lillmuttaqiin. Apa yang ada dalam Al-Qur’an tidak perlu diragukan, karena itu adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Kemudian di ayat selanjutnya, Allah menegaskan bahwa orang yang bertaqwa adalah mereka yang beriman dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, yaitu mengimani yang ghaib, mendirikan shalat, serta menginfakkan rezeki yang telah Allah limpahkan kepadanya. Dalam ayat tersebut Allah menggunakan fi’il (kata kerja) mudhori’, yang artinya kejadian sekarang dan terus berkelanjutan. Orang yang ingin mencapai predikat taqwa akan senantiasa melaksanakn shalat di sepanjang harinya, baik shalat yang bersifat wajib maupun sunnah. Namun yang perlu digaris bawahi adalah efek dari sholat adalah tanha ‘anil fahsyaai wal munkar yang artinya mencegah dari perbuatan yang keji dan ingkar. Jadi, apabila ada orang yang sudah melaksanakan shalat tapi masih suka mencuri, ghibah, bahkan menonton pornografi, maka ada yang salah dari shalatnya. Na’udzubillah. Banyak dari umat manusia yang belum memaknai ibadah shalat ini secara sempurna. Tidak memaknai dalam pelaksanaannya, bahkan banyak yang melaksanakan shalat hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban.

Kemudian hablum minannas terdapat pada kalimat berikutnya, yaitu wa mimma razaqnaahum yunfiquun. Hal ini Allah pertegas lagi dalam Q. S. Ali-Imran ayat 134

 ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

Artinya: (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dari penggalan ayat diatas Allah senantiasa memerintahkan kita untuk bersedekah, baik dalam keadaan lapang mupun sempit. Karena bersedekah tidak harus menunggu memiliki harta yang banyak dengan tenaga pun  kita membantu orang lain sudah termasuk ke dalam sedekah. Wallahualam bish-shawab.

Leave a Reply

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.