Foto oleh Tima Miroshnichenko https://www.pexels.com/id-id/foto/fajar-alam-pria-laki-laki-5988920/
Halo sobat qur’ani! Sebagai umat Muslim, kita diperintahkan agar menjaga ketakwaan dalam setiap situasi dan kondisi keadaan kita.
Akan tetapi, di dalam kehidupan tak selamanya berjalan dengan normal atau baik-baik saja, terkadang kita menjumpai situasi yang normal, ada kalanya juga kita menjumpai keadaan yang urgent atau darurat.
Dalam ajaran Islam, larangan terhadap sesuatu yang haram bersifat mutlak, mencerminkan batas-batas yang telah ditetapkan Allah SWT bagi hamba-Nya.
Namun, keadaan darurat sering kali memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang secara normal dianggap melanggar syariat.
Misalnya, mengonsumsi makanan haram untuk bertahan hidup di tengah kelaparan ekstrem. Apakah tindakan seperti itu tetap dianggap dosa, atau justru diperbolehkan dalam batas tertentu?
Pertanyaan ini menjadi penting, terutama ketika umat Muslim dihadapkan pada dilema moral yang sulit. Mari simak penjelasannya berikut ini!
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al Baqarah ayat 172
يٰٓاَ يُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا کُلُوۡا مِنۡ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقۡنٰكُمۡ وَاشۡكُرُوۡا لِلّٰهِ اِنۡ کُنۡتُمۡ اِيَّاهُ تَعۡبُدُوۡنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang telah kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”
Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada umat Islam agar mengonsumsi makanan dari rezeki yang baik.
Karena makanan dari hasil yang halal akan berdampak positif untuk umat serta menjadi penyebab terkabulnya doa-doa.
Namun, ajaran Islam sangat fleksibel, pada kondisi tertentu Islam juga membolehkan kita untuk mengonsumsi sesuatu yang haram yang mana akan memberikan kemanfaatan serta kemudahan kepada umat.
Sekilas Tentang Halal dan Haram
Halal dan haram merupakan aturan mutlak dalam Islam yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan hidup manusia.
Aturan ini termaktub dalam Al Qur’an. Allah SWT berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 168
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Pada ayat tersebut Allah dengan tegas memerintahkan kepada umat manusia agar memakan dan minum dari sesuatu yang halal dan juga baik untuk dikonsumsi.
Meski demikian, Islam tetap memberikan kelonggaran kepada pemeluknya ketika menghadapi suatu kondisi yang darurat.
Lalu bagaimana Islam mengatur konsep darurat kepada pemeluknya? Apakah ada syarat dan batasannya?
Bagaimana Islam Mengatur Konsep Dharuriyyat?
Secara etimologi “dharurat” berasal dari akar kata dhara, yadhurru, dharran yang artinya merusak atau memberi mudarat.
Adapun secara terminologi dharurat ialah keadaan mendesak yang membuat orang melalukan sesuatu yang dilanggar oleh syariat untuk menghindari bahaya yang menimpa dirinya serta menerapkan Maqashidus Syari’ah (menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan)
Allah SWT berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 173
اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah.
Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
Pada ayat tersebut, selain menjelaskan macam-macan makanan yang diharamkan.
Allah juga memberikan pengecualian bahwa dalam kondisi darurat dibolehkan bagi muslim untuk melakukan hal apa saja yang dilarang.
Menurut Syaikh Wahbah az Zuhaili dalam kitabnya Ushulul Fiqhil Islami yang dilansir dari website nu.or.id, hal itu merupakan suatu rukhsah yang wajib diambil.
Pada dasarnya mengonsumsi bangkai yang mana hukumnya adalah haram menjadi wajib jika terdapat uzur tertentu yaitu menjaga keselamatan jiwa.
Syaikh Ali Jum’ah juga menerangkan hal yang sama bahwa salah satu rukhsahyang wajib diambil ialah mengkonsumsi daging bangkai bagi orang yang terpaksa.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik di kitabnya Al Muwaththa’ dari jalur sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah SAW bersabda
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
(HR Ahmad, Abdur Razaq, Ibnu Majah, at- Thabrani, al-Hakim secara marfu’. Malik, asy-Syafi’i, Abu Dawud secara mursal dengan kualitas shahih).
“Jangan membahayakan diri dan orang lain”
Pada hadits di atas juga dijelaskan, bahwa kita dilarang untuk membahayakan diri sendiri dan juga orang lain. Islam sangat menghargai nyawa manusia.
Maka dari itu, jika dalam kondisi darurat yang mana bisa mengancam keberlangsungan hidup seseorang, Islam sangat membolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang hanya demi menjaga kelangsungan hidup serta menghindari diri dari kemudharatan.
Para ulama ahli fiqih juga merumuskannya dalam sebuah kaidah yang berbunyi
الضرورات تبيح المحظورات
“Keadaan darurat membolehkan segala sesuatu yang dilarang”
Syarat dan Ketentuan yang Harus Diperhatikan
Meskipun hal ini sebagai suatu rukhsah (keringanan), ada syarat dan ketentuan nya agar tidak ada orang yang berusaha untuk mengakali rukhsah ini.
Dilansir dari website rumaysho.com dari Ustadz Abdullah Tuasikal. Syarat-syarat agar bisa mengambil rukhsah ini adalah sebagai berikut :
- Tidak ada jalan lain, kecuali dengan menerjang larangan demi mencegah/menghilangkan dharar (bahaya).
- Dapat dipastikan dengan mengonsumsi sesuatu yang dilarang, bisa menghilangkan dharar (bahaya)
- Kadar haram yang diterjang lebih ringan dibandingkan dharar (bahaya) yang akan menimpa.
Batasan dan Etika dalam Menerapkan Konsep Dharurat
- Jangan berlebihan
Contoh : Jika seseorang berada di sebuah hutan, kemudian ia tidak menemukan makanan selain dari yang diharamkan (ular, babi, dan sebagainya).
Maka dalam kondisi seperti ini, ia boleh memakannya. Tetapi jangan sampai berlebihan,
jika sudah merasa cukup, maka makanan tersebut kembali ke hukum asalnya yaitu haram.
- Dilakukan hanya sebatas kebutuhan
Contoh : seseorang membuka aurat di depan dokter dalam proses pengobatan.
Pada kondisi ini, jika ia tidak membuka auratnya, dokter akan susah menganalisa penyakitnya.
Maka hal itu dibolehkan, namun itu hanya boleh dilakukan sebatas kebutuhan dia untuk berobat, jika di luar itu maka hukumnya kembali ke asalnya
- Tidak ada alternatif yang halal
Contoh: ada seorang muslim yang sedang sakit keras. Jika ia menemukan obat halal yang masih bisa dikonsumsi, maka alternatif itu wajib diambil.
Namun, jika ia tidak menemukan obat yang halal setelah sekian lama melakukan pencarian dan hanya menemukan obat yang haram. Maka ia dibolehkan mengkonsumsi nya untuk kesembuhan dan menjaga jiwa nya.
Kesimpulan
Islam sangat fleksibel. Ketika dalam kondisi darurat, Islam memberikan keringanan kepada pemeluknya untuk melakukan sesuatu yang dilarang guna mencegah/menghilangkan kemudharatan serta memberikan kemudahan kepada pemeluknya.
Namun, tetap ada syarat dan batasannya. Jika kebutuhan nya telah terpenuhi, maka segala sesuatu yang dilarang tadi kembali ke hukum asalnya.
Hal ini merupakan bentuk implementasi dari Maqashidus Syari’ah yang mana di dalamnya terdapat beberapa point seperti menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta, serta menjaga keturunan.
Wallahu a’lam bishawaab
Daftar Pustaka
- Dr Wahbah az Zuhaili, Ushul Fiqh Al Islamiy
- Muhammad Husein Fadhlillah, 40 Hadits Landasan Kaidah Fiqh
- Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Konsep Darurat dalam Islam dan Masalah-masalah Fikih Terkait Bencana https://sg.docworkspace.com/d/sILaNlvTtAavXxboG?sa=601.1123&ps=1&fn=C-Konsep-Darurat-Dalam-Islam_Khaeruddin.pdf
- NU Online, Rukhsah Darurat yang Wajib Diambil dalam Hukum Islam https://islam-nu-or-id.cdn.ampproject.org/v/s/islam.nu.or.id/amp/syariah/rukhsah-darurat-yang-wajib-diambil-dalam-hukum-islam-jiJB3?amp_gsa=1&_js_v=a9&usqp=mq331AQIUAKwASCAAgM%3D#amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=17334177168190&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&share=https%3A%2F%2Fislam.nu.or.id%2Fsyariah%2Frukhsah-darurat-yang-wajib-diambil-dalam-hukum-islam-jiJB3
- Kurniati Yusdono, skripsi : Fleksibilitas Hukum Islam dalam Perspektif Darurat dan Maslahat https://sg.docworkspace.com/d/sIByNlvTtAeG4x7oG?sa=601.1123&ps=1&fn=KURNIATI%20YUSDONO.pdf
- Rumaysho.com, Menerjang yang Haram Saat Darurat