Cek Fakta : Benarkah Pendidikan Tinggi Tidak Menjamin Masuk Surga?
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 13 (1) menyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang saling dapat melengkapi dan memperkaya.
Selanjutnya pasal 14 undang-undang tersebut menjelaskan pembagian jenjang pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Sebelum pendidikan dasar diberikan, biasanya anak-anak Indonesia diberikan pendidikan formal melalui jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang mencakup Taman Kanak-Kanak (TK) dan sejenisnya.
Adapun pendidikan dasar diselenggarakan oleh Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan sederajat.
Kemudian pendidikan menengah diselenggarakan oleh Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), dan sederajat.
Setelah mengenyam serangkaian bentuk pendidikan tersebut, anak-anak Indonesia dapat melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.
Perguruan tinggi di Indonesia terbagi atas universitas, institut, akademi, dan sejenisnya.
Bicara tentang pendidikan tinggi, saat ini publik Indonesia masih santer membicarakan sebuah program televisi yang menayangkan mahasiswa-mahasiswa berprestasi.
Program tersebut berupa kompetisi akademik yang menuntut daya inteligensi yang tinggi.
Uniknya tantangan yang biasanya dianggap susah dicerna dengan daya nalar biasa tersebut berhasil diselesaikan mahasiswa-mahasiswa terpilih.
Nama mereka semakin hangat menjadi buah bibir dan tak ayal mereka juga mendapatkan penggemar.
Mereka juga dianggap cerdas karena mendapatkan fasilitas, privilege, dan skill yang telah diasah sejak masih bersekolah.
Selain itu ada juga berita prestasi mahasiswa yang telah menamatkan studi lanjutannya di usia yang masih terbilang muda.
Popularitas para bintang baru tersebut menarik atensi besar di media sosial.
Namun di balik prestasi tersebut, respons negatif tak jarang masih ditemui.
Sebagian orang memandang remeh adanya pendidikan tinggi yang dianggap hanya bisa dienyam orang-orang yang memiliki keberuntungan.
Sikap tersebut semakin diwujudkan dengan adanya stigmatisasi masyarakat yang bahkan juga kerap kali menyeret ranah keagamaan.
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh pernyataan,
“Pendidikan tinggi tidak menjamin masuk surga, Dek!”
Ada juga pernyataan yang berbeda namun senada, “Percuma sekolah tinggi-tinggi, kalau ilmu agamanya nol!”
Apakah kedua pernyataan di atas benar?
Mari cek fakta tiap pernyataan di atas melalui uraian berikut ini!
Cek Pernyataan 1 : Pendidikan Tinggi Tidak Menjamin Masuk Surga
Pernyataan bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin masuk surga (atau pendidikan tinggi tidak ‘dapat’ menjamin masuk surga) perlu diklarifikasi dengan terlebih dahulu memahami makna kata ‘menjamin’ itu sendiri.
Dalam KBBI disebutkan bahwa salah satu makna kata ‘menjamin’ adalah menanggung (tentang keselamatan, ketulenan, kebenaran dari orang, barang, harta benda, dan sebagainya).
Artinya frasa ‘menjamin masuk surga’ memiliki makna ada suatu perbuatan yang dianggap dapat memastikan pelakunya akan mendapatkan keselamatan di akhirat atau dalam arti lain perbuatan tersebut menjadi jaminan untuk masuk surga.
Sehingga pernyataan kontroversial di atas bisa diubah menjadi pertanyaan,
“Apakah pendidikan tinggi menjadi jaminan masuk surga?”
Dilansir dari situs web milik Nahdatul Ulama, K.H. Abdul Hakim (alumnus Pesantren Al Falah Ploso Kediri) dalam mauidzatul hasanah yang disampaikan pada tahun 2017 menyatakan bahwa tidak ada jaminan orang pintar masuk surga.
Kalaupun ada mereka adalah orang istimewa yang dalam kehidupannya menjadi orang yang tidak hanya pintar, tetapi juga benar.
Sosok yang pernah menjadi pengurus salah satu pesantren di Purworejo, Jawa Tengah tersebut menambahkan bahwa
“orang-orang pintar walaupun itu dalam bidang agama juga tidak ada jaminan akan menjadi orang beriman.”
Saat ini ada saja orang yang pintar agama, namun hanya digunakan sebagai ilmu pengetahuan saja tanpa dihayati dan diamalkan.
Bahkan ada yang menggunakan ilmunya untuk diperdagangkan dan dimanfaatkan untuk mencari materi keduniawian.
Jadi jawaban di atas mengonfirmasikan bahwa kepintaran bukanlah jaminan seseorang akan beruntung di akhirat karena kerap kali digunakan untuk tujuan yang tidak benar.
Pengecualiannya adalah orang yang memiliki dua keistimewaan, yaitu pintar secara intelektual dan menggunakan ilmunya untuk tujuan yang benar.
Di sisi lain, Al-Qur’an telah menyatakan kedudukan orang yang berilmu, sebagaimana dalam ayat populer,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Mujādalah [58]:11)
Selain itu perlu diketahui bahwa ada hadis yang menyinggung hubungan menuntut ilmu dan surga. Hadis tersebut bunyinya seperti ini,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ، يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Artinya, “Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah SWT akan memudahkan baginya jalan untuk ke Syurga. Tidaklah satu kumpulan berkumpul di dalam sebuah rumah di antara rumah-rumah Allah, membaca kitab Allah (al-Qur’an) dan mempelajarinya sesama mereka melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), diliputi ke atas mereka rahmat dan dinaungi oleh malaikat serta Allah SWT akan menyebut mereka pada malaikat yang berada di sisi-Nya”. (Riwayat Muslim)
Dilansir dari situs web Aku Muslim Asia, hadis ini menceritakan dua kelebihan pada orang yang menuntut ilmu.
- orang yang keluar [dan] sibuk menuntut ilmu itu akan Allah permudahkan jalannya untuk ke surga.
- Mereka yang berkumpul dalam majelis ilmu itu akan diberi ganjaran yang sangat besar oleh Allah.
Kita dapat memahami maksud hadis di atas bahwa jalan menuju surga akan dimudahkan Allah dengan sebab intens dan konsisten dalam menuntut ilmu.
Apabila dipahami lebih lanjut, seseorang yang berilmu tinggi dapat masuk surga apabila memiliki amalan-amalan yang menjadikannya mulia, seperti membaca Al-Qur’an dan menggelar majelis ilmu.
Meskipun penafsiran dalil-dalil di atas lebih sering dikaitkan dengan ilmu agama, bukan berarti tidak ada keutamaan bagi orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi di bidang selain agama.
Sebab jika ilmu-ilmu yang dipelajari di perguruan tinggi dapat dimanfaatkan untuk memajukan kemaslahatan umat maka akan menjadi sesuatu yang bermanfaat sehingga juga layak mendapatkan keutamaan menuntut ilmu.
Jadi pernyataan/klaim bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin masuk surga sebagian benar dan tetap memerlukan penjelasan yang lebih utuh.
Perlu diingat bahwa kalimat yang tengah dibahas dalam artikel ini menjadi masalah jika dijadikan alasan untuk menstigmatisasi pendidikan tinggi, apalagi jika menganggap pendidikan tinggi tidak berguna untuk urusan akhirat.
Cek Pernyataan 2 : Percuma Pendidikannya Tinggi Kalau Ilmu Agamanya Nol
Pernyataan di atas merupakan klaim adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan kadar wawasan spiritual seseorang.
Apabila ditelaah secara harfiah, makna pernyataan tersebut adalah seseorang dianggap sia-sia memiliki ilmu selangit apabila tidak ada ruh rohani di dalam jiwanya.
Frasa ‘Ilmu Agamanya Nol’ dapat dimaknai sebagai nihilnya pengetahuan agama (rohani) yang dimiliki seseorang.
Sehingga pernyataan di atas seharusnya disempurnakan menjadi,
“Percuma seseorang memiliki pendidikan tinggi jika tidak memiliki pengetahuan agama.”
Orang berilmu tinggi yang tidak memiliki pengetahuan agama berarti tidak memiliki sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Serta, tidak memiliki sesuatu yang dapat menjadikannya harus mawas diri dengan keilmuannya agar tidak menyimpang.
Jika disebutkan pernyataan, “Buat apa lulus S2 kalau tidak dekat dengan Allah?”
Maka yang seharusnya perlu digaris bawahi bukan tentang Strata 2-nya.
Melainkan orang yang memiliki keilmuan yang tinggi namun tidak mengamalkannya dalam rangka beribadah untuk memanifestasikan kedekatan kepada-Nya.
Artinya ilmu yang dimilikinya tidak bermanfaat, sedangkan dalam beberapa hadis dijelaskan bahwa manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah ahli ilmu yang tidak Allah jadikan atas ilmunya manfaat (HR. Baihaqi)
Serta orang yang ilmunya bertambah dan tidak menambah petunjuk baginya maka tiada bertambah baginya kecuali makin jauh dari Allah.
Bukan hanya, tingginya ilmu dapat menjadi sebab seseorang terjerumus kepada sifat takabur, ujub, dan iri.
Rasulullah telah melarang umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan dalam rangka memiliki kesombongan. Sebagaimana dalam sebuah hadis yang artinya,
“Janganlah engkau mempelajari ilmu pengetahuan untuk bersombong-sombong dengan sesama orang berilmu, untuk bertengkar dengan orang-orang yang berpikiran lemah dan untuk menarik perhatian orang ramai kepadamu. Barang siapa berbuat demikian, maka dia dalam neraka.” (HR. Ibnu Majah).
Pesan hadis di atas selaras dengan firman Allah SWT berikut :
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ
“Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.” (QS. Luqman [31] : 18)
Jangan lupa pula, ilmu merupakan salah satu hal yang akan dihisab (dipertanggung jawabkan) di pengadilan-Nya.
لَا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيْهِ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ
Artinya:
“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak dari tempat hisabnya pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai 4 hal:
(1) umurnya, untuk apakah ia habiskan,
(2) jasadnya, untuk apakah ia gunakan, (3) ilmunya, apakah telah ia amalkan,
(4) hartanya, dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan,”
(HR. Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi).
Jadi, tanpa adanya pengetahuan agama seseorang akan menyalahgunakan ilmunya untuk bersikap sombong padahal kelak ia akan bertanggung jawab atas ilmunya sendiri.
Pentingnya mendalami ilmu agama telah dijelaskan secara general dalam berbagai referensi mulai dari Al-Qur’an, hadis, hingga syarahan ulama.
Hukum mendalaminya (sekalipun baru sebatas mempelajari ilmu dasar untuk beribadah) adalah fardu ain.
Sebaliknya di samping mendalami ilmu agama seseorang juga perlu melek atas berbagai pengetahuan dasar lain, misalnya matematika (ilmu umum) yang berguna dalam menghitung zakat dan warisan (notabene merupakan ilmu agama).
Hukum mendalaminya adalah fardu kifayah. Terdapat pernyataan bahwa seseorang percuma memiliki status pendidikan tinggi jika ilmu agamanya nol adalah benar.
Namun, dengan catatan harus menekankan pentingnya agama di samping tetap perlu menguasai disiplin ilmu lain di perguruan tinggi.
KESIMPULAN
Pandangan seseorang terkait hubungan antara inteligensi dan pendidikan dengan spiritual (agama) memengaruhi pandangan dan stigmatisasi sebagaimana yang beredar.
Tidak ada batasan sejauh mana seseorang dapat menempuh pendidikan, apalagi tidak ada parameter yang jelas tentang tingkatan pendidikan apakah yang pasti dapat menjamin seseorang masuk surga.
Akan tetapi perlu diingat bahwa para ulama yang terkenal memiliki tingkatan belajar yang tinggi (walau tidak memiliki sistem pendidikan formal seperti sekarang) juga dikenal zuhud, wara, rendah hati, dan mendedikasikan sisa hidupnya untuk mengajarkan ilmu dan kebaikan kepada umat di zamannya.
Sehingga stigmatisasi terhadap pendidikan tinggi berupa pandangan yang menegasikannya dari urusan akhirat tidak sepenuhnya benar.
Di sisi lain, kita juga perlu mengingat bahwa menempuh pendidikan tinggi secara formal tanpa mempelajari agama adalah suatu kesia-siaan.
Terakhir, hal yang justru seharusnya menjadi renungan
Apakah tingkat keilmuan yang telah digapai membawa pengamalnya menjadi individu yang muliaatau malah menyesatkan pengamalnya sehingga menjadi individu yang tega melakukan kerusakan di muka bumi?
Referensi
https://lmsspada.kemdikbud.go.id/,
tautan PDF : Pert 7 SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.pdf (kemdikbud.go.id)
10 Hadis Tentang Ilmu yang Anda Perlu Tahu – Aku Muslim
https://nu.or.id/daerah/orang-berilmu-belum-tentu-masuk-surga-ini-penyebabnya-nfEPT
Daftar Dalil di Al Quran dan Hadits Keutamaan Menuntut Ilmu (tirto.id)