Oleh : Ustadz. Dr. Hasani Ahmad Said, MA
Mushaf Al-Qur’an dibukukan secara baku ketika masa khalifah Utsman Bin Affan. Awalnya Umar Bin Khattab mengusulkan untuk mengkodifikasi Al-Qur’an, karena banyak Hafidz dan Qurra yang wafat ketika perang Yamamah. Lalu beliau mengusulkan pada Abu Bakar untuk membukukan Al-Qur’an. Namun, tidak serta merta diterima oleh Abu Bakar. Karena ini adalah sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad sebelumnya.
Salah satu shuhuf (Suhuf adalah lembaran lembaran wahyu yang belum di bukukan) yang dijadikan bahan acuan dalam mengkodifikasi Al-Qur’an adalah Shuhuf Khudzaifah. Kemudian pada Masa Utsman, setelah berhasil disusun dan dikumpulkan ke dalam satu mushaf yang kokoh (satu dialek, yakni dialek Quraisy), dibuatlah 5 mushaf acuan yang baku. Diantara mushaf tersebut disebar ke berbagai kota yakni, Makkah, Madinah, Kuffah, Bashrah, dan yang satu lagi dipegang oleh Utsman sendiri. Sebelum dikukuhkan menjadi Mushaf Al-Qur’an yang satu, yakni dalam dialek Quraisy, Ustman membakar semua mushaf dan suhuf-suhuf Al-Qur’an yang bukan ditulis dalam dialek Quraisy (peristiwa ini disebut juga sebagai Politisasi Kodifikasi Al-Qur’an). Maka dari itu, mushaf yang ada saat ini kita baca disebut dengan Mushaf Utsmani.
اِناَّ نَحْنُ نَزَّلْناَ الذِّكْرَ وَإِناَّ لَهُ لَحَا فِظُون
Dari penggalan ayat diatas terlihat otoritas Allah dalam menjaga Al-Qur’an. Allah telah menjelaskan bahwasanya tidak ada yang mampu membuat yang serupa dengan Al-Qur’an, jadi kemurnian dan keaslian Al-Qur’an tidak diragukan lagi. Di dalam penggalan ayat di atas Allah menggunakan redaksi “نحن” karena Allah disini menjelaskan bahwasannya yang terlibat di dalam penjagaan Al-Qur’an bukan hanya Allah, tapi juga melibatkan yang lain seperti, para Huffadz, Qurra, Lembaga-Lembaga ke-AlQur’anan (HIQMA, LTTQ, dsb), dan semua yang menjaga Al-Qur’an”.
WaAllahu A’lamu Bish-Showwab