“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS. Al Isra’: 9) Al Quran yang turun lima belas abad lalu kepada Nabi Muhammad saw, tidak sekedar menghimpun ayat-ayat yang tidak seorangpun mampu menandinginya. Lebih dari itu, ia juga memperkenalkan dirinya sebagai hudan li an-nas (petunjuk bagi seluruh umat manusia). Berbagai macam pokok persoalan mampu dijawab oleh makna-makna yang terkandung dalam Al Quran. Kitab yang dengan membacanya saja berbuahkan pahala ini, membawa misi sebagai pedoman hidup menuju kebahagiaan dan kesejahteraan yang nyata. Sebagai sebuah kitab atau buku pedoman hidup untuk kebahagian di dunia dan akhirat, Al-Quran secara prinsipnya lengkap dengan pelbagai cabang ilmu untuk memenuhi keperluan manusia. Apa saja yang kita cari pasti akan kita temui di dalamnya. Bukan hanya terbatas pada zaman ia diturunkan, tapi selalu relevan dengan perkembangan zaman, melintasi waktu berabad-abad lamanya. Ia menghimpun segala bidang ilmu, mulai dari akidah hingga kemasyarakatan dan aktifitas sehari-hari. Mulai dari perkara-perkara yang ada di langit tinggi hingga benda-benda yang ada di dasar bumi. Sekalipun terkadang Al Quran menyebutnya secara global. Sebut saja misalnya petunjuk makan, Al Quran membawakannya dengan sangat apik dan hati-hati. Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. (QS. 2:168). Al Quran menggaris bawahi makanan yang halal lagi baik. Sebab, makanan yang halal belum tentu baik, begitu sebaliknya. Sebagian dari ciri makanan halal ialah bersih, menyehatkan, dan tidak kadaluarsa. Sementara baik dimaksudkan dengan cara memperolehnya secara halal dan tidak mencuri. Jika ditelusuri lebih lanjut semua itu akan berdampak bagi kesehatan dan perilaku kita di masa mendatang. Demikian petunjuk Al Quran. Barangkali ada banyak buku petunjuk tentang ini dan tentang itu, versi ini dan itu. Akan tetapi semuanya belum terbukti dan teruji oleh perkembangan zaman dari waktu ke waktu. Berbeda dengan buku petunjuk Al Quran yang tidak akan pernah basi di makan waktu. Terlebih, buku petunjuk hidup ini bersumber dari Sang Pemilik hidup itu sendiri, Allah swt yang mengatur segala perihal kehidupan. Tentu saja terjamin kebenarannya dan tidak ada keraguan padanya. Kalau pada zaman Nabi saw dulu buku petunjuk tersebut turun ketika permasalahan datang, sekarang petunjuk itu telah ada sebelum permasalahan datang. Buku petunjuk ini sekalipun terbatas pada sekian ribu ayat, tetapi memancarkan makna yang demikian dalam dan tidak ada habisnya. Sehingga Abdullah Darraz, dalam Al-Naba’ Al-‘Azhim, menulis begini: Apabila Anda membaca Al Quran, maknanya akan jelas di hadapan Anda. Tetapi bila Anda membacanya sekali lagi, akan Anda temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam, semuanya benar atau mungkin benar. (Ayat-ayat Al Quran) bagaikan intan: setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang Anda lihat. Al Quran, disamping misinya sebagai petunjuk hidup bagi seluruh umat manusia, juga mampu menggetarkan hati serta memiliki daya tarik yang demikian luar biasa dari sisi bahasa. Menurut orientalis Gibb, “Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini, yang telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan yang demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya seperti apa yang dibaca oleh Muhammad saw, yakni Al Quran.” Bahasanya yang demikian memesona, redaksinya yang demikian teliti, dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung, telah mengantar kalbu masyarakat yang ditemuinya berdecak kagum. Sekian ayat Al Quran yang terhampar pada 114 surat menjadikan banyak orang terkagum. Pakar tafsir kenamaan Indonesia, M. Quraish Shihab, menganalogikan sebagai rambu-rambu lalu lintas yang demikian indah. Sehingga yang seharusnya menjadi tanda yang menunjuk ke arah yang dituju tidak lagi menjadi tanda dan petunjuk jalan, tetapi membuat si pejalan malah terpaku dan terpukau di tempatnya. Kalam Ilahi yang merupakan ayat-ayat Allah, yang juga sangat memesonakan, itu mengakibatkan sebagian kita hanya berhenti dalam pesona bacaan ketika ia dilantunkan, seakan-akan kitab ini hanya diturunkan untuk dibaca. Memang, wahyu pertama adalah Iqra’ bismi Rabbik, bahkan kata Iqra’ diulanginya dua kali. Akan tetapi, kata ini bukan sekadar perintah membaca dalam pengertiannya yang sempit, melainkan juga mengandung makna “telitilah, dalamilah” karena dengan penelitian dan pendalaman itu manusia dapat meraih sebanyak mungkin kebahagiaan. Demikian tulis M. Quraish Shihab dalam buku Secercah Cahaya Ilahi. Semoga kita mampu menjadikan Al Quran sebagai ruh dalam menjalani segala aktifitas sehari-hari. Menyatu dalam gerak langkah, denyut nadi, dan ucapan yang keluar dari mulut kita. Membumi dalam hati, akal, pikiran, jiwa, perasaan, dan perilaku, bahkan seluruh totalitas kita sehari-hari. Menjadi pijakan yang pasti kebenarannya dan menunjukkan jalan kesejahteraan, ketenteraman, kebahagiaan, dan keselamatan dunia dan akhirat. Amin.
By: Yogi Sofiyullah