Skip to main content
Artikel

Perspektif Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi Mengenai Kriteria Pemimpin

https://palembang.tribunnews.com/

Memelajari lebih lanjut tentang salah satu sejarawan Islam, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi. Nama lengkapnya adalah Yusuf Mustofa Al-Qaradhawi. Beliau lahir pada tanggal 9 September 1926 di Safat Turab, Mesir. Sejak usia lima tahun, pamannya mengajarinya menghafal Al-Quran, dan pada usia sepuluh tahun ia telah menghafal seluruh Al-Quran.

Setelah menyelesaikan studinya di Ma’had Thantha dan Ma’had Tsanawi, Qaradawi melanjutkan studinya di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir dan lulus pada tahun 1952–1953 dengan predikat tertinggi. Ia kemudian melanjutkan ke jurusan bahasa Arab selama dua tahun dan meraih peringkat pertama dari lima ratus siswa. Ia kemudian melanjutkan studinya di Institut Kajian Lanjutan dan Penelitian Urusan dan Pembangunan Islam selama tiga tahun. Pada tahun 1960, Qaradawi masuk studi pascasarjana (Dirasahal-‘Ulya) di Universitas al-Azhar Kairo, di fakultas tersebut ia memilih jurusan Tafsir-Hadits atau jurusan filsafat Aqidah. Ia kemudian melanjutkan program doktoralnya dan menulis tesis berjudul Fiqh az-Zakat (Fiqih zakat) yang diselesaikan dalam waktu dua tahun.

Latar belakang yang menjadikan Syekh Yusuf Al-Qaradhawi menjadi tokoh terkenal dengan pemikirannya tentang demokrasi, kepemimpinan, dan ketatanegaraan adalah karena situasi pemerintahan Mesir saat itu, akibat rezim Raja Faruk yang dianggapnya tidak adil dan sewenang-wenang. Pada masa kepemimpinan Raja Faruk, korupsi dan kejahatan merajalela di Mesir. Selain itu, banyak terjadi kemunduran di berbagai sektor sehingga memicu protes di masyarakat yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok yang menentang pemerintahan Raja Faruk, baik dengan alasan agama maupun nasionalis.

Semasa hidupnya, ketika Mesir diperintah oleh Raja Faruk, Qaradhawi dipenjarakan pada tahun 1949 pada usia dua puluh tiga tahun. Karena ikut serta dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Kemudian, pada bulan April 1956, dia ditangkap lagi saat Revolusi Juni di Mesir. Setelah dibebaskan dari penjara, ia pindah ke Doha, Qatar, di mana ia dan teman-teman seperjuangannya mendirikan Ma’had-Din (organisasi keagamaan). Madrasah ini merupakan cikal bakal lahirnya Fakultas Syariah Qatar yang kemudian menjelma menjadi Qatar University dengan beberapa fakultas. Qaradawi sendiri merupakan kepala fakultas syariah universitas tersebut.

https://library.bpk.go.id/koleksi/detil/jkpkbpkpp-p-9984

Dalam salah satu karyanya yang berjudul “Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam”, Qaradhawi mengartikan pemimpin sebagai raja yang mengatur rakyat untuk menguatkan agama dan mengatur dunia dalam agama itu. Menurut Qaradhawi, pemimpin dapat diartikan sebagai khalifah atau imamah. Imamah artinya kepemimpinan yang menjadi teladan bagi umatnya. Makna khalifah berarti wakil atas nama Rasulullah SAW untuk melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia seperti yang dikemukakan oleh at-Taftazany, Ibnu-Khaldun dan lain-lain dalam kitab Qaradawi yang berjudul “Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah”.

Menurut Qaradhawi, pemimpin adalah seseorang yang dapat bertindak benar atau salah. Oleh karena itu, sebagai umat Islam atau sebagai rakyat kita harus mendukung jika seorang pemimpin berbuat benar dan mengoreksinya jika berbuat salah. Seorang pemimpin tidak kebal hukum karena pada kenyataannya jabatan yang dipegangnya adalah beban tanggung jawab, dan bukan kehormatan. Pemimpin menurut Islam juga bukanlah wakil Tuhan, melainkan wakil rakyat. Oleh karena itu, rakyat berhak memilih, mengendalikan, dan mengoreksi pemimpinnya.

Di dalam buku “Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah” Qaradhawi juga menyatakan pendapatnya tentang kriteria seorang pemimpin. Pertama. Adil artinya dalam menegakkan hukum seorang pemimpin harus adil dan bijaksana tidak boleh ada unsur korupsi, kolusi dan nepotisme dalam kepemimpinannya. Hal ini juga sejalan dengan firman Allah SWT. Pada Q.S An-Nisa [4] : 58

۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا  ٥٨  

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Bagi Qaradhawi, pemimpin adil adalah yang dapat menjamin bahwa setiap rakyatnya mempunyai hak dan kebebasan untuk menyatakan pendapatnya. Sepanjang dilakukan secara bijak, tidak ada alasan bagi seorang pemimpin untuk mencegahnya. Karena, justru yang perlu diwaspadai adalah ketika tidak ada lagi rakyat yang berani melakukan kritik dan control sosial untuk menegakkan keadilan. Jika masyarakat tidak lagi memiliki kendali, ketidakadilan akan semakin meluas. Jika suatu negara menunjukkan konsistensi dalam menghormati prinsip-prinsip demokrasi di atas, maka pemerintah negara tersebut akan mendapat legitimasi dari rakyat. Sehingga saat itu, roda pemerintahan akan berjalan stabil.

Kedua, adalah bertanggung jawab dan berpengetahuan.  Karena memegang peran sebagai seorang pemimpin bukanlah nikmat yang harus disyukuri, melainkan amanah yang perlu di pertanggungjawabkan kepada Allah. Karena seorang pemimpin itu bukanlah penguasa umat, namun pelayan umat. Maka dari itu ia wajib berusaha memberikan yang terbaik untuk kemaslaharan orang banyak. Selanjutnya, alasan seorang pemimpin harus berilmu sebagaimana hadis Rasulullah SAW “Bahwa jika amanah telah diabaikan maka tunggulah saat kehancuran” (H.R Abu Hurairah).

Rasulullah SAW kemudian menjelaskan kepada sahabatnya makna dari hadis ini, bahwa jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka akan banyak kesalahan yang berakibat kehancuran.

Ketiga, menurut Qaradhawi dalam buku “Sekular Ekstrim” seorang pemimpin juga perlu kuat dan jujur sebagai mana dalam firman Allah SWT Q.S al-Qasas [28] :

قَالَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَ‍ٔۡجِرۡهُۖ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَ‍ٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ  ٢٦

“Salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku, pekerjakanlah dia. Sebaik-baiknya orang yang Anda pekerjakan adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.

Definisi kuat pada ayat ini yakni, seseorang yang memiliki ilmu dan profesionalitas. Adapun dapat dipercaya atau jujur maksudnya tidak keluar dari jalan Allah bahkan ia takut kepada-Nya sehingga selalu memelihara jabatan dan tugas yang di amanatkan kepadanya.

Dengan demikian, warisan pemikiran dan kontribusi Al-Qaradhawi menawarkan pandangan yang relevan dan inspiratif dalam konteks tantangan kepemimpinan modern, menegaskan bahwa pemimpin yang ideal adalah mereka yang mampu menjaga keadilan, memelihara kepentingan umat, dan mengabdi kepada Tuhan dengan sepenuh hati.

DAFTAR PUSTAKA

Pahri, Ripyal. (2017). Demokrasi: Pemilihan Umum dan Kriteria Pemimpin Perspektif Yusuf Al-Qaradhawi. (Skripsi Sarjana, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta). https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36765/1/RIPYAL%20PAHRI%20-%20FAH.pdf

Trisnawati, Diana. (2013). Revolusi Mesir 23 Juli 1952: Berakhirnya Pemerintahan Raja Farouk. (Ringkasan Skripsi Sarjana, Universitas Negri Yogyakarta). https://eprints.uny.ac.id/21742/12/RINGKASAN%20skripsi.pdf

Leave a Reply

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.