(Akhmad Fawzi)
Ketimpangan gender bukan hanya terjadi pada masa silam, bahkan sampai detik ini masih ada beberapa wilayah yang melegitimasi ketimpangan gender berbasis agama. Memang, saat ini tantangan terbesar bagi pejuang kesetaraan gender ialah bagaimana menafsirkan ulang dalil agama dan membangun semangat egaliterianisme dalam sebuah masyarakat. Terdapat konstruksi sosial di sebuah desa tertentu yang memunculkan ketimpangan gender dimana perempuan harus melulu berada di dalam rumah dan dapur. Tentu hal tersebut bukan hanya membatasi kebebasan perempuan tetapi juga menciptakan budaya patriarki yang membuat diri seorang perempuan merasa dibawah laki-laki. Agama yang seharusnya mampu menciptakan kesetaraan, justru di tafsirkan memunculkan ketidak-setaraan antara perempuan dan laki-laki. Amina wadud mengklasifikasi penafsiran terhadap Al-Qur’an khususnya tentang perempuan diantaranya:
Klasifikasi Penafsiran tentang Perempuan
- Penafsiran Tradisional; penafsiran ini menekankan pada pendekatan tertentu seperti hukum, tasawuf, nahwu-sharaf, balagah atau sejarah. Hampir tidak ada upaya mengenali tema-tema dan membahas hubungan diantara ayat-ayat Al-Qur’an secara tematis, misalnya dengan menerapkan prinsip-prinsip hermeneutika dan metodologi yang menghubungkan satu ayat dengan ayat lainnya atau tema-tema yang sama dalam Al-Qur’an. Amina Wadud merasa prihatin terhadap karya-karya tafsir tradisional yang semuanya ditulis oleh laki-laki. Hal ini berarti bahwa laki-laki dan pengalamannya dilibatkan dalam penafsiran, sementara, perempuan dan pengalamannya ditiadakan atau ditafsirkan menurut visi, perspektif, kehendak atau kebutuhan laki-laki.[1]
- Penafsiran Reaktif; penafsiran ini menyangkut isu perempuan terutama atas reaksi para sarjana modern terhadap inferioritas perempuan. Mereka banyak menentang pesan Al-Qur’an dengan menggunakan status perempuan yang lemah dalam masyarakat muslim sebagai justifikasi reaksi mereka. Biasanya, reaksi mereka berdasarkan pemikiran kaum feminis yang menyebabkan mereka dalam memperbaiki kedudukan perempuan berlandaskan alasan-alasan yang tidak sejalan dengan pandangan Al-Qur’an tentang perempuan.
- Penafsiran Holistik; penafsiran yang mempertimbangkan ulang semua metode tafsir Al-Qur’an menyangkut berbagai bidang seperti sosial, moral, ekonomi, dan politik modern. Kategori ini relatif baru, dan belum ada kajian substansial yang secara khusus membahas isu perempuan dari sudut pandang keseluruhan Al-Qur’an dan prinsip utamanya.
Penafsiran merupakan upaya untuk mengambil intisari yang terkandung tiap ayat Al-Qur’an, namun perlu diketahui bahwa yang namanya penafsiran ialah upaya dari manusia yang bisa saja benar dan salah. Status penafsiran yang dilakukan seorang mufassir atau mujtahid bersifat relatif, penafsiran dikatakan benar jika penafsiran tersebut sejalan dengan semangat prinisip Al-Quran yaitu keadilan dan kesetaraan. Semangat seperti itu akan membumikan egaliterianisme dan tidak ada ruang membatasi dalam tatanan masyarakat.
Al-Quran tidak Membedakan Perempuan dan Laki-Laki
Umumnya laki-laki pasti pernah mendengar atau bahkan meyakini bahwa perempuan “lebih rendah” dengan laki-laki, “perempuan kerjaannya di rumah aja, melayani laki-laki”, “perempuan itu manusia lemah, tidak cakap secara intelektual dan kurang memadai secara spiritual”. Penilaian tersebut bagi Amina Wadud sangatlah dangkal dalam memandang perempuan. Salah satu dari keyakinan semacam itu adalah bahwa ada perbedaan-perbedaan esensial antara laki-laki dan peremuan yang tercermin dalam penciptaan, kapasitas dan fungsi dalam masyarakat. Sekalipun ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, Amina Wadud menandaskan bahwa perbedaan-perbedaan itu tidak terkait dengan sifat-sifat dasar mereka.[2]
Padahal perempuan dan laki-laki adalah dua kategori spesies manusia yang diberi perhatian yang sama atau sederajat dan dikaruniai potensi yang sama atau sederajat. Tak satupun dikecualikan dari tujuan utama Al-Qur’an, yakni membimbing manusia ke pengenalan dan keyakinan terhadap suatu kebenaran. Al-Qur’an mendorong semua orang beriman, laki-laki dan perempuan, supaya menyertai keimanan mereka dengan tindakan, dan untuk ini Al-Qur’an menjanjikan pahala yang besar bagi mereka. Jadi, Al-Qur’an tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam penciptaan, tujuan, atau pahala yang dijanjikannya.[3]
[1] Amina Wadud, Al-Qur’an Menurut Perempuan, Terj. Abdullah Ali, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Hal. 17.
[2] Amina Wadud, Al-Quran Menurut Perempuan, Terj. Abdullah Ali, Hal. 25.
[3] Amina Wadud, Al-Qur’an Menurut Perempuan, Terj. Abdullah Ali, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Hal. 36.